di miyup bak sawo
Minggu, 28 Oktober 2012
di miyup bak sawo: DODOI TUA
di miyup bak sawo: DODOI TUA: DODOI TUA Oleh Jamalul Hikmah Seperti hari-hari kemarin, tak ada sesuatu pun yang dikerjakannya di pinggir kali itu. Ia hanya dud...
Selasa, 09 Oktober 2012
DODOI TUA
DODOI TUA
Oleh Jamalul Hikmah
Seperti
hari-hari kemarin, tak ada sesuatu pun yang dikerjakannya di pinggir kali itu. Ia
hanya duduk bertopang dagu belaka di sana. Matanya memandang terus ke arah aliran
air yang tidak pernah berhenti itu. Rasanya ia tak ingin membuang waktu selain
untuk memandang aliran air di hadapannya. Entah kenapa, ia seperti menemukan
kembali sesuatu yang hilang dari dirinya setiap kali berada di sana. Seolah air-air
itu bermuara ke dalam batinnya. Menyejukkan relung jiwanya, dan mengikis habis seluruh
keruwetan yang selama ini mendera batinnya.
Tak
seorang pun yang mempersoalkan tingkah aneh dirinya. Mungkin semua orang sudah
maklum tentang kebiasaannya itu, atau memang mereka sudah menganggapnya tidak
waras. Ia sendiri tidak ambil peduli. Persetan dengan orang-orang kampung ini,
persetan semua! rutuknya dalam hati. Tahu apa mereka tentang penderitaannya?!
Segerombolan
anak tampak menyusuri kali di hadapannya. Seperti biasa, mereka
mengacung-acungkan tangan ke arahnya, sambil melantunkan pantun untuk mengolok-olok
dirinya :
“Dodoi tua Dodoi renta
pilu hati menatap kali
amboi beta sudah tua
rindu anak dan bini
Dodoi tua sudah karatan
Suka sekali memandang kali
Oi, sungguh kasihan
Tinggal di kali jarang mandi...”
Belum
puas mengolok-olok, salah seorang anak menyemburkan air sungai ke arahnya. “Ayo,
mandi... Ayo mandi...!”
Tingkahnya
segera diteladani oleh anak-anak yang lain. Namun seperti biasa, Dodoi tidak menanggapi.
Ia menyingkir dari tempat itu dengan mulut membisu.
Geram
hatinya memikirkan tingkah usil anak-anak itu. Ketenangannya bersama air sungai
telah diusik mereka. Dan, yang lebih menyakitkan, kalau kebetulan ada orang
dewasa yang lewat di sekitar tempat itu dan menyaksikan semua kenakalan mereka terhadap
dirinya, tapi tak ada yang sudi menggubris. Seolah membenarkan kelakuan
anak-anak itu terhadapnya, membuat mereka semakin besar kepala.
Tersaruk-saruk
ia menyeret langkah mengikuti aliran sungai. Di ujung kelokan, di bawah semak-semak
perdu bambu, ia berhenti. Berdiri takzim menghadap ke sungai. Sebentar mulutnya
terlihat komat-kamit. Entah apa yang dibacanya.
Air
sungai di hadapannya tampak kehijauan dan mengalir tenang. Tempat itu kelihatannya
lebih dalam dari tempat lain di sekitar itu. Kedua sisi pinggirnya dipenuhi
perdu bambu, yang tumbuh menjorok ke air. Akar-akar dan sulur-sulur liar tampak
menjuntai seperti ular-ular raksasa, menambah keangkeran tempat itu. Orang-orang
desa itu menamakan tempat itu dengan Lubuk Bambu. Penduduk banyak yang percaya
bahwa Lubuk Bambu yang berada di
hadapannya itu ada penghuninya. Anak-anak tidak ada yang berani mandi di
sekitar tempat itu.
Ada sebuah riwayat yang memilukan tentang Lubuk
Bambu itu. Dulu, puluhan tahun yang lalu, ada seorang pemuda yang rajin dan
tekun. Orang-orang memanggilnya Dodoi. Sehari-hari ia bekerja sebagai buruh
pengeruk pasir di kali itu. Ia adalah pendatang di daerah itu. Hidupnya
sebatang kara. Tak ada seorang pun yang tahu persis dari mana sebenarnya ia
berasal.
Ia
seorang pemuda bertemperamen kaku dan pendiam. Tidak banyak orang yang akrab
dengannya. Tetapi ada seorang lelaki setengah baya, yang akrab dengannya. Pak
Bakri, sama-sama buruh pengeruk pasir.
Karena
hubungan yang baik itu, Pak Bakri menjodohkan anak gadisnya dengan Dodoi. Acara
perkawinan pun diselenggarakan dengan khidmat dan sederhana. Maka, sebagaimana
kehidupan desa yang sederhana, mengalirlah irama pernikahan mereka seperti apa
adanya.
Suatu
kali Dodoi jatuh sakit. Sakitnya teramat payah. Karena keadaan yang mendesak
itu isterinya yang baru beberapa hari melahirkan terpaksa menggantikannya
bekerja sebagai pengeruk pasir. Tapi malang waktu itu air sungai agak meluap.
Isterinya yang tidak pandai berenang hanyut. Dan ditemukan tewas tersangkut di
semak-semak perdu bambu.
Sejak
itu Dodoi menjadi pemurung. Ia suka bekerja sambil membawa-bawa bayi
perempuannya. Pak Bakri dan isterinya tidak kuasa menghalangi kelakuan aneh
menantunya.
“Jangan
coba-coba menghalangi aku! Biarkanlah aku membawanya. Dengan begitu aku bisa
bekerja dengan tenang dan bersemangat. Biarlah anak ini menyaksikan sendiri
bagaimana ayahnya bekerja. Biar deras air kali mengaliri semangatnya bila
dewasa kelak,” begitu selalu jawab Dodoi kalau ada yang mencoba menghalanginya.
Begitulah,
Dodoi sering membawa-bawa bayinya ke pinggir sungai. Menidurkannya di
tempat-tempat rindang di bawah pohon yang tumbuh dekat pinggiran sungai.
Sekali-kali ia menjenguk anaknya untuk memberi susu botol atau sekedar
menimang-nimang. Bisik-bisik sesama kawan kerja tak pernah digubrisnya. Dia
memang seperti sudah kehilangan akal sehat. Yang dipikirkan dalam hidupnya
hanyalah anak perempuannya itu semata. Tak mau ia berjauhan dengan anaknya itu.
Suatu
hari, Dodoi terlalu asyik bekerja. Ia lupa pada bayinya. Ketika teringat pada
bayinya, hari sudah menjelang sore. Bergegas ia berlari menghampiri anaknya.
Namun bayinya itu sudah tidak ada lagi di tempat.
Dodoi
memekik tinggi, sehingga para penduduk desa berdatangan menghampirinya. Dan
semuanya menjadi jelas ketika Dodoi berteriak-teriak seperti kesetanan memanggil
bayinya.
Hampir
seluruh penduduk desa dikerahkan untuk menyusuri sungai, mencari bayi
perempuannya itu. Tapi sampai matahari terbenam tak seorang pun yang
menemukannya. Bayi itu raib tanpa meninggalkan bekas.
“Sudahlah
Dodoi, besok kita lanjutkan lagi pencarian ini. Siang saja sulit kita temukan
apalagi malam,” kata Pak Kepala Desa.
Dodoi
tidak menanggapinya. Seperti orang gila ia terus kasak-kusuk mencari anaknya.
Menyusur sepanjang sungai itu. Pulang pergi. Ia tidak peduli pada orang-orang
di sekitarnya yang satu-satu pergi meninggalkan dirinya. Sepanjang malam itu ia
mencari dan terus mencari seorang diri.
Keesokan
harinya barulah bayi itu ditemukan seorang pemancing tersangkut di semak-semak
perdu bambu. Persis di tempat mayat isterinya ditemukan!
“Anak
itu telah diambil kembali oleh ibunya,” bisik salah satu penduduk.
“Bukan,”
bantah yang lain. “Justru penunggu lubuk ini yang mengambilnya seperti ketika
mengambil ibunya dulu.”
“Tapi,
jangan-jangan malah Dodoi sendiri yang menjadikan anak dan isterinya sebagai
tumbal. Mungkin dia punya ilmu hitam.”
“Ah,
mana mungkin Dodoi sejahat itu....”
Sejak
itu beragam rumor tentang dirinya pun mulai berkembang di antara penduduk.
Semua orang tua menakut-nakuti anak-anaknya agar tidak ada yang mendekati lubuk yang angker itu. Semua anak percaya
pada takhyul itu. Apalagi Dodoi dengan setia menunggu lubuk itu, dan melarang
setiap orang yang hendak mendekatinya.
“Hei,
Dodoi tua! Kami mau mandi di lubuk anakmu
ini! Ha..ha..ha....” teriak anak-anak dari seberang sungai mengejutkan lamunan panjang
lelaki tua itu.
Ia
bangkit dengan geram. “Jangan...! kalian boleh saja mengusikku, tapi jangan
coba-coba mengganggu tidur anak-biniku....” teriaknya dengan suara serak.
Anak-anak
nakal itu itu tidak peduli. Malah mereka semakin bersemangat mengganggunya.
Beberapa anak tampak melempari lubuk angker itu dengan benda apa saja yang ada
di sekitar tempat itu.
“Jangan...
jangan...!”
Anak-anak
itu semakin bersemangat melempari Lubuk itu sehingga air bermuncratan ke
mana-mana.
“Awas
kalian!” teriak Dodoi kalap. Dipungutnya sepotong kayu, lalu berlari mengejar mereka,
menyeberang sungai.
“Lari....
Ayo, lari...!” anak-anak berteriak ketakutan.
Malang,
salah seorang anak terpeleset hingga jatuh bergulingan ke dalam lubuk larangan
itu. Ia megap-megap seperti ada yang menyedot dari dasar sungai. Kepandaiannya berenang
mendadak seperti tidak berarti apa-apa.
Dodoi
melompat ke dalam lubuk itu, berusaha
menolong sang bocah. Namun sayang tubuh kecil itu telah terbenam. Dodoi masih terus
berusaha mencarinya. Ia menyelam, terus menyelam sampai kehabisan nafas dan
tenaga.
Tiba-tiba
terdengar suara ribut-ribut di atas tebing sungai.
“Ayo,
bunuh orang tua itu! Dia telah menjadikan anakku sebagai tumbal ilmu hitamnya!
Bunuh dia...!”
“Bunuh
dia...! Ganyang dia...!”
Dodoi
mendongak ke atas. Ia melihat berpuluh-puluh warga desa berdatangan sambil
mengacung-acungkan golok, parang, clurit, dan berbagai jenis senjata lain ke
arahnya. Beberapa anak yang tadi mengganggunya tampak menunjuk-nunjuk ke
arahnya. Hatinya galau. Petaka apa ini, pikirnya kecut.
Dodoi
naik ke atas dengan sisa tenaganya. “Ada apa ini ramai-ramai, heh?!” tannyanya
seperti orang linglung.
“Kau
telah membunuh anak desa ini. Kau memelihara iblis! Kau memberi tumbal untuknya
setelah anak dan isterimu sendiri! Kau mau mengorbankan kami semua demi ilmu
setanmu!” tuduh mereka penuh emosi.
Dodoi
tidak sempat menyangkal atau berkata apa-apa lagi. Suara seraknya sama sekali
tidak terdengar oleh gemuruh pekik orang ramai yang sedang marah. Kaki dan
tangannya diikat para penduduk. Lalu tubuh ringkih itu dilemparkan ke dalam lubuk
tempat anak dan isterinya meninggal.
Ia
merasakan tubuhnya melayang menuju dasar sumur yang gelap. Turun dan terus
turun.... Nun, jauh di bawah sana ia melihat isteri dan bayi perempuannya menggerapai-gerapai
menyambut kehadirannya. Lalu bayangan itu pun buyar bersamaan dengan air yang
mengoyak paru-parunya.
Sigli, Juli 2002
***
Dimuat di Serambi Indonesia
edisi minggu, 11 April 2004
Rabu, 30 Mei 2012
ssstt... sila baca..!
SSSTT…!
INI BUKAN MONOLOG
BUKAN RAHASIA
APALAGI EFORISME
SIAPA SAJA BOLEH BACA
HANYA BERUPA BANYOLAN
PELEPAS STRESS
ATAWA LELAH KERJA
Langganan:
Postingan (Atom)